Jatuh Cinta dan Hitam Putih Perfilman Dalam Film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film”
“Hidup gue emang ga bisa retake, tapi bisa bikin sekuel” — Bagus
Begitu kata Bagus dalam film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Kita tidak dapat mengulang kembali alur kehidupan yang kita jalani, sehingga penyesalan yang berlalut-larut sesungguhnya tidaklah penting, hidup harus terus berjalan dan kita harus melanjutkan kehidupan. Jadikan penyesalan itu untuk menghindari kesalahan di masa lalu.
Konsep Inkonvensional “Film Dalam Film”
Konsep “film dalam film” memperkenalkan dimensi tambahan yang menarik dalam dunia sinematik, di mana sebuah film tidak hanya menceritakan satu kisah utama, tetapi juga menciptakan cerita atau adegan yang seolah-olah merupakan film terpisah di dalamnya. Dalam konteks ini, terbentuklah lapisan tambahan di mana karakter dalam film tersebut terlibat dalam proses pembuatan atau menonton film fiksi. Sebagai contoh, karakter utama dapat menjadi bagian dari produksi film, memberikan penonton pandangan internal tentang dunia perfilman. Sebaliknya, adegan di mana karakter menonton film menciptakan peluang untuk kontrast atau keterkaitan dengan tema atau alur cerita utama. Pendekatan metafiksi, di mana film menciptakan komentar atau refleksi tentang seni sinematik itu sendiri, menjadi elemen khas dalam konsep ini. “Film dalam film” memberikan ruang bagi eksplorasi kreatif yang mendalam, seringkali memperkaya cerita utama dengan lapisan emosional atau intelektual yang lebih kompleks. Dengan cara ini, penonton diundang untuk merenungkan tentang proses pembuatan film, menggali hubungan antara realitas dan fiksi, serta mendapatkan sudut pandang baru terhadap keajaiban medium film itu sendiri.
Film meta, dalam bentuknya yang paling mendasar, adalah jenis film yang menyadari dan merujuk pada medium sinematik itu sendiri. Dalam film ini, penonton diperkenalkan pada lapisan tambahan yang menciptakan pengalaman refleksif atau kesadaran tingkat tinggi tentang proses pembuatan film dan konvensi-konvensi yang terlibat. Karakter dalam film meta seringkali menunjukkan kesadaran langsung atas keberadaan mereka dalam suatu cerita atau di dalam medium film, dengan interaksi langsung dengan audiens atau referensi ke proses penciptaan cerita. Film meta dapat melibatkan unsur-unsur parodi atau satir untuk mengomentari konvensi film atau genre tertentu, sementara pemecahan dinding antarwaktu sering digunakan untuk menciptakan pengalaman sinematik yang lebih kompleks. Beberapa film meta menantang pemahaman konvensional tentang narasi dan menciptakan hubungan unik antara pembuat film, karakter, dan penonton, menciptakan pengalaman menonton yang lebih mendalam dan reflektif. Contoh film meta termasuk karya-karya seperti “Adaptation”karya Spike Jonze, “Synecdoche, New York” karya Charlie Kaufman, “The Truman Show” karya Peter Weir, dan “Leonor Will Never Die” Karya Martika Ramirez Escobar, yang secara efektif menyelidiki batasan dan potensi medium film.
Dengan konsep yang sama, film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film bercerita tentang seorang penulis skenario bernama Bagus, diperankan oleh Ringgo Agus Rahman, yang ingin memfilmkan naskah skenario drama komedi tetapi dengan tampilan hitam putih. Bagus menjelaskan kepada Joram, seorang produser, diperankan oleh Alex Abbad, tentang cerita dari naskah skenario yang ia tulis. Kisahnya berawal dari sebuah pertemuan Bagus dengan Hana, diperankan oleh Nirina Zubir. Pertemuan tak terduga ini memicu perasaan khusus di dalam diri Bagus terhadap Hana. Inspirasi dari pertemuan itu kemudian menjadi bahan tulisan Bagus untuk sebuah skenario film dengan genre romantis. Meskipun Bagus berusaha mendekati Hana, upayanya tidak berjalan dengan lancar. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Hana baru saja kehilangan suaminya, membuatnya sulit untuk membuka hati dan menerima seseorang yang baru dalam kehidupannya. Perbedaan cara pandang tentang jatuh cinta selalu muncul dari percakapan keduanya hingga membawa Bagus ke dalam sebuah “rollercoaster” percintaan seperti yang ia tulis dalam ceritanya.
Yang paling menunjukkan konsep meta pada film ini adalah ketika Celine, diperankan oleh Sheila Dara, bersama dengan Bagus dan Dion sedang menaiki motor bak untuk menyambangi Hana yang sebentar lagi pergi ke Yogyakarta. Adegan jalanan tersebut terasa semakin seru ketika Celine justru membayangkan penempatan kamera dan penggunaan drone serta teknik editing untuk membuat adegan tersebut lebih seru dan menegangkan. Pada saat itu juga, imajinasi Celine langsung diwujudkan dalam film ini dan membuatnya menjadi seru dan menyenangkan.
Bentuk Surat Cinta Yang Paling Baik
Film ini tampaknya menjadi sebuah karya yang berhasil menyampaikan kritik terhadap industri film, memanfaatkan medium film itu sendiri untuk menyampaikan pesan dengan efektif. Dengan menggabungkan elemen-elemen naratif, visual, dan audio, film ini mampu merangkum dan mengkritisasi dinamika, kebijakan, atau ketidaksempurnaan dalam industri film.
Pendekatan kreatif film ini mungkin menjadi kekuatan utamanya, karena menggunakan medium yang dikritik untuk menyampaikan pesan kritiknya. Melalui cerita, karakter, dan situasi dalam film, penonton dapat merasakan dan memahami kritik yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Ini menciptakan pengalaman sinematik yang mendalam dan reflektif, yang mungkin mampu memicu perbincangan dan refleksi lebih lanjut terkait isu-isu yang diangkat.
Film ini juga memberikan kritik dalam bentuk komedi satir terhadap tren dalam industri film Indonesia. Menyoroti kecenderungan produser untuk lebih tertarik dalam mengadaptasi cerita dari sinetron yang mendapat “reborn” atau cerita horor dengan elemen gimik yang nyentrik daripada menerima dan menghasilkan cerita orisinal yang ditawarkan oleh Bagus kepada produser.
“Mereka sampai bikin gimik acara kesurupan dan pasang pocong di studio bioskop karena sadar filmnya sendiri kurang kuat dalam penyampaiannya” — Celine
Pemilihan untuk menyoroti isu ini dapat diartikan sebagai suatu bentuk komentar terhadap prioritas produksi film di industri, di mana aspek komersial dan kepopuleran seringkali menjadi fokus utama dibandingkan dengan pengembangan ide-ide orisinal. Melalui naratifnya, film ini secara tidak langsung mengajak penonton untuk merenungkan dinamika industri film dan bagaimana keputusan-keputusan produksi dapat mempengaruhi keberagaman dan kualitas cerita yang dihasilkan.
Film ini juga mengkritisi kondisi jam kerja di industri film, khususnya terkait tekanan yang diterima oleh para filmmaker seperti Bagus. Kritik terhadap produser yang mendesak Bagus untuk menyelesaikan naskahnya dalam waktu seminggu tidak hanya mencerminkan tuntutan waktu yang tidak realistis, tetapi juga menyoroti dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan fisik. Pada saat Bagus terkena tifus akibat kurang istirahat dan pola makan yang buruk, film ini menggambarkan secara implisit konsekuensi dari tekanan kerja yang berlebihan dalam industri tersebut.
Selain itu,film juga mengekspos praktik “ngaret” dalam produksi film yang sering terjadi hingga pagi hari. Keputusan impulsif Bagus untuk meninggalkan set demi bertemu dengan Hana, meskipun menggambarkan aspek dramatis dalam cerita, juga menyoroti kerentanannya terhadap tekanan dan kelelahan, yang kemudian berdampak pada efisiensi produksi. Para kru harus menunggu karena keputusan tersebut, dan hal ini menciptakan situasi yang sulit dan tidak efisien di lokasi syuting.
Mendobrak Dinding Pemikiran Industri Film Indonesia
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film mungkin menjadi pelopor dalam membuka jalan bagi karya-karya film lainnya untuk mengambil risiko dan mendobrak batasan konvensional, baik dalam sudut pandang cerita maupun kritik terhadap industri film di Indonesia. Dengan memberikan contoh bahwa film dapat menjadi medium untuk menyuarakan kritik atau pandangan alternatif terhadap dinamika industri, karya ini mungkin memotivasi pembuat film lainnya untuk lebih berani dalam mengeksplorasi berbagai tema dan merangkul sudut pandang yang berbeda.
Selain itu, film ini menciptakan gebrakan baru dalam perfilman Indonesia, membuka peluang dan inspirasi bagi para pembuat film lainnya. Penggunaan tampilan hitam-putih sekitar 3/4 dari film bukan hanya sebagai gimik visual, tetapi telah diintegrasikan secara mendalam ke dalam plot itu sendiri, menunjukkan bahwa penggunaan elemen sinematik dapat melampaui kepentingan sekadar sebagai daya tarik visual, melainkan dapat menjadi bagian esensial dari narasi film.
Pendekatan non-konvensional dalam penceritaan yang mengkritisi proses pembuatan film memberikan dorongan kepada filmmaker untuk lebih berani mengeksplorasi cara bercerita yang tidak terikat pada aturan-aturan konvensional. Keberanian ini menantang norma-norma yang ada, terutama dalam industri film yang terkadang cenderung mencari keuntungan dan memainkan aman dengan formula yang sudah teruji. Film ini mungkin menjadi inspirasi bagi banyak filmmaker untuk lebih berfokus pada pesan, kreativitas, dan kritik terhadap industri film tanpa harus mengorbankan kebebasan artistik mereka.
Tidak hanya menjadi sebuah karya seni yang inovatif tetapi, film ini juga menjadi pendorong bagi perkembangan perfilman Indonesia menuju arah yang lebih berani, kreatif, dan kritis. Keberhasilannya dalam menciptakan looping pada plot cerita dan menggabungkan elemen-elemen sinematik yang unconventional memberikan bukti bahwa eksperimen dapat membuka jalan untuk era baru dalam dunia perfilman tanah air.
Dengan kata lain, film ini membuka jalan bagi film-film lain untuk memperluas horison dan melibatkan penonton dengan cerita yang lebih mendalam serta menciptakan pengalaman sinematik yang lebih bermakna. Dengan mematahkan batasan-batasan pemikiran yang ada, film ini berpotensi menjadi pionir dalam membuka pintu bagi film-film berikutnya untuk lebih berani, kreatif, dan terlibat dalam dialog yang konstruktif tentang masa depan industri film di Indonesia.